Desember 29, 2008

Bumbu?

Beberapa hari yang lalu saya lagi nongkrong di ruang tunggu dokter. Kok nongkrong di situ? Sebenernya kata yang lebih tepat adalah menunggu, tapi berhubung saya adalah salah satu anak nongkrong MTV, maka saya wajib menyebut kegiatan itu adalah nongkrong. Jadi kamu bisa menyebut saya adalah orang yang memiliki integritas.........serius amat sih????

Nah...ada seorang lelaki tua yang sedang duduk (berhubung dia bukan anak nongkrong, maka saya tidak menyebut orang itu lagi nongkrong. Dan lagi, dia bukan anak-anak!) di samping saya. Sebut saja Pak Jenggot. Tiba tiba dia curhat tentang anaknya yang sedang bertengkar dengan menantunya. Hmm....setahu saya, tampang saya jauh dari seorang konselor rumah tangga. Tapi berhubung lelaki itu udah terlanjur menekan tombol enter sehingga curhatannya mengalir dengan derasnya, mau nggak mau saya harus menanggapi sambil manggut-manggut dan sesekali garuk garuk kepala. Kalau garuk garuk pantat, orang itu bisa tersinggung.

Saya nggak berniat menceritakan masalah menantunya itu di sini. Bisa habis halaman ini. Lagian itu juga bukan masalah saya. Tapi ada kalimat dari lelaki tua itu yang berhasil membuat saya termenung dengan manisnya (suwer....saya emang manis kalo lagi termenung). Lelaki itu bilang, "Pertengkaran itu lumrah terjadi dalam rumah tangga. Ibaratnya bumbu dalam rumah tangga..."

one word..............SINTING!

Kita tahu masakan kalo nggak ada bumbunya itu bakalan kurang sedap. Dan normalnya, orang akan mencari bumbu kalau masakannya terasa kurang sedap. Berarti ada unsur kesengajaan dalam kegiatan mencampurkan bumbu dalam masakan yang kurang sedap. Jadi, kalau rumah tangga itu dirasa "kurang sedap", maka akan ada kegiatan pencarian "bumbu" dan kemudian memasukkan "bumbu" tersebut ke dalam rumah tangga. Singkatnya, bakal ada yang cari gara-gara di dalam rumah tangga itu.

Nenek nenek gondrong juga tahu kalo manusia normal nggak ada yang suka dengan pertengkaran. Entah pertengkaran itu timbul dari salah paham atau produk dari tindakan berjudul "Cari Gara Gara". Kalau orang yang bertengkar gampang melupakan, mungkin masih fine fine aja. Tapi kalo ada yang sulit melupakan? suatu saat bakal meledak juga.

Entahlah...Pak Jenggot dapet "pencerahan" dari mana sampai bisa berkeyakinan seperti itu. Saya pun nggak berminat mengajaknya berdebat karena nggak ada untungnya juga. Saya hanya mendengarkan sambil manggut manggut dan berdoa semoga Pak Jenggot tidak mengatakan "pertengkaran adalah sebagian dari iman".

fiuhh.....


Label:

Desember 08, 2008

Asuransi Jiwa

Beberapa waktu lalu saya lagi maen-maen ke Batavia alias Jakarta untuk menengok Bude yang udah sekian lama nggak ketemu. Tuh, saya orang baik kan? Mau jauh-jauh ke Batavia hanya untuk menengok Bude. Ok, STOP menyombongkan diri! Tak lupa saya mampir ke head quarter perusahaan dimana saya bekerja. Saya yakin pasti teman-teman saya, khususnya yang wanita, sangat merindukan saya. Mereka pasti stress dan perlu memandang wajah ganteng saya agar tidak stress lagi.

Ternyata dugaan saya benar. Salah seorang teman saya yang berinisial R-A-N-I, begitu bertemu saya wajahnya langsung cerah ceria, menawarkan saya kopi, membelikan pangsit mie, dan akhirnya mengajak saya nonton film...sayangnya nonton rame-rame. Tapi nggak apa-apa, toh dia yang membayar tiket, popcorn, dan orange juice saya (heran deh...knapa cewek-cewek tuh suka banget traktir saya) dan sepertinya dia masih malu-malu (tapi mau) untuk kencan berdua dengan saya. Sangat wajar. Saya lihat si Rani ini sangat sibuk. Hampir tidak bisa lepas dari benda ajaib yang berjudul Blackberry. Sebentar-sebentar melihat blackberry-nya. Saya sudah curiga kalau dia menyimpan foto saya di Blackberry-nya. Ternyata tidak. Dia sedang check e-mail. Seingat saya, saya tidak pernah mengirimkan surat cinta yang bisa dia baca berkali-kali di Blackberry-nya. Ternyata dia check e-mail dari atasan. Syukurlah....saya lega.

Waktu pulang, di taxi saya tanya si Rani, "Kamu stress banget sepertinya. Menurut penerawangan saya, hidupmu nggak tenang. Tidak bisa lepas dari Blackberry. Kerjaanmu banyak banget ya?"
Dengan tampangnya yang terlihat capek, dia jawab "Iya, banyak banget. Mesti cek imel setiap saat"
"Jadi bener dong kalo kamu stress?"
tanya saya lagi.
"iya, mo gimana lagi? Kerjaan mesti kelar, kalo gak gitu bakalan numpuk banget.." jawabnya pasrah
"Kamu ikut asuransi jiwa?" tanya saya serius

Menurut saya, dia memang harus ikut asuransi jiwa. Bahkan semua orang Batavia harus ikut asuransi jiwa karena banyak sekali hal yang bisa membuat orang stress di Batavia. Tapi asuransi jiwa yang benar. Jadi jiwanya yang diasuransikan, bukan fisiknya. Kalau stress terus, pasti jiwanya akan terganggu. Stress adalah tahap awal dan bisa berkembang ke arah kegilaan. Selama ini asuransi hanya menanggung sakit fisik. Bukan sakit jiwa. Jadi sebelum menyetujui penawaran sebuah asuransi jiwa sebaiknya tanyakan dengan detil apakah mereka mau menanggung biaya rumah sakit jiwa kalau customernya stress atau bahkan gila.

Baiklah pembaca yang budiman dan budiwati, kalau Anda sedang berada di Jakarta, segera asuransikan jiwa Anda dan jangan berusaha memaksa saya untuk meng-amin-kan slogan "Enjoy Jakarta" hahahaha....

Label: